Apa kau tidak mengkhawatirkanku? Pertanyaan itu muncul setelah di beberapa hari kau dan aku terpisah tanpa komunikasi. Aku asyik dengan segala aktvitas dan kesendirian yang menemani, sedang aku tak tahu apa yang sedang kau kerjakan disana. Apakah skripsi memang menyita waktu hingga tak ada satu pun sms yang kau kirim untukku? Atau mungkin seseorang itu kembali lagi dalam kehidupanmu sehingga sekarang kau acuhkan aku, menjadikanku bagian yang tidak penting lagi?
Aku tersenyum ketika pertanyaan-pertanyaan itu terlintas dalam fikiran apalagi setelah aku melihat update status facebooknya yang berisi “Together? To Get Her?”. Aku? Bukanlah yang istimewa dalam kehidupannya. Kami berteman cukup lama dengan intensitas pertemanan dengan penuh kemesraan. Mungkin ini yang dinamakan Teman Tapi Mesra. Aku baru merasakan hal terbodoh yang aku alami selama aku hidup dan mempunyai seorang teman pria yang begitu menyita waktu dan fikiranku. Seharusnya aku tak sebodoh ini menjadi seorang wanita. Seharusnya aku bisa lebih tegas hingga tak seorang pun mengotak-ngatik perasaanku kecuali Dia dan aku.
Pria itu membunuh waktuku. Aku begitu tergila-gila kepadanya. Bukan karena gombalannya karena dia bukan tipe penggombal dan karna tidak bisa menggombal. Bukan karena ketampanannya karena masih banyak pria yang tampan di luar sana. Bukan karena uangnya karena masih banyak pria yang berdompet tebal. Pria itu membunuh jantung hati karena rasa cinta kepada ibunya, karena kesholehannya karena kepintarannya. Namun, dia belum pintar bagaimana meramu sebuah perasaan. Dia belum cerdas memilih antara aku dan orang lain yang pernah singgah di hatinya.
Aku ingin meracik masa depan dengannya. Mengungkap rahasia masa depan yang penuh teka-teki dengannya. Mencoba bertahan hidup dengannya. Menggapai semua cita-cita bersamanya. Begitu cemburunya, saat kau memperlihatkan kekasihmu. Aku tak tahu apa orang tersebut masih menjadi kekasihmu atau sudah menjadi masa lalumu. Ibumu yang tak merestui sangat mencambuk hati. Aku tahu mengapa begitu sakit ketika seorang ibu tak merestui pilihan hatimu. Seorang wanita cerdas yang sudah melangkah lebih jauh hingga ke negeri gingseng. Seorang wanita tanah air yang fasih menggunakan bahasa asing. Seorang wanita cerdas nan manis. Hingga aku iri melihatnya. Aku yang tak mempunyai apa-apa begitu sangat kerdil. Namun, apakah pria itu tahu betapa aku meringis kesakitan? Apakah pria itu memikirkan efeknya saat memperlihatkan wanita itu kepadaku?
Sungguh, hingga kini aku tak mau lagi membalas sms darimu, tak mempunyai semangat untuk menyapamu. Namun, apakah pria itu tahu, betapa sakitnya aku menahan semua itu? Tidak ada kekuatan batinku untuk mengucap bahwa aku sangat menyayangimu. Aku tahu begitu banyak wanita di luar sana yang menginginkanmu, dan sangat kecil kemungkinan untukku mencintaimu lebih jauh.
Tidak ada kebencian kepadamu, bahkan aku sangat membenci diriku karena tidak bisa menjadi yang terbaik untuk pria yang baik sepertimu. Mungkin karena aku juga belum paham apa arti mencinta sesungguhnya. Aku mungkin belum pantas menjadi bagian dari agamamu, namun selalu saja aku berharap agar Tuhan memantaskanku untuk menjadi separuh nyawamu.
Bagaimanapun, waktu-lah yang akan menjawab semua. Aku ingin mencintaimu seperti kau mencintai ibumu. Ingin menjadi bagian dari agamamu sebagaimana ibumu menjadikanmu sebagian dari agamanya yang begitu indah. Semoga Allah mempertemukan kita pada yang seseorang yang lebih paham tentang kita.






