Rabu, 24 Oktober 2012

Mom, setiap saat aku merindukanmu..


Alhamdulillah, pagi ini saya terbangun seperti biasa. Menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dengan sempurna walau sedikit tersumbat. Pukul 04.30, nenek saya masih tidur lelap. Udara pagi itu sangat sempurna, sejuk dan sesekali menggigit pori-pori. Saya pun menengok sebelah kanan saya, seorang bocah berumur 1,5 tahun masih terlelap.

Pagi ini, bukan seperti biasanya. Sudah dua hari saya menginap di rumah nenek (orang tua ibu saya). Di sebuah desa yang kini sudah tak kental lagi aroma pedesaannya. Walau begitu, tetap saja nampak berbeda jika dibandingkan dengan keadaan rumah saya di tengah kota yang hiruk pikuknya sudah terasa setelah shalat shubuh. Tapi disini, setelah shalat shubuh, saya masih bisa melihat ibu-ibu sedang menyapu halaman rumahnya dengan sapu lidi. Masih bisa melihat anak-anak SD yang hendak pergi ke sekolah menggunakan sepeda, masih bisa menikmati surabi oncom, masih bisa melihat para petani yang akan pergi meladang.

Namun, ada yang berbeda di pagi kemarin dan pagi ini.
Ibu. Iya, ibu tidak ada disini. Walau umurku mau menginjak ke angka 22, tapi sesosok ibu memang memiliki ruang tersendiri di hati. Nampak berbeda tidak ada ibu di sini. Ketika di kampung nenek masih bisa melihat ibu-ibu yang membersihkan halamannya dengan sapu lidi, di sini saya tidak menemukan sesosok yang kuat sedang mengepulkan asap di dapur, meyiapkan sarapan, membereskan dapur atau mencuci piring.
Yah, setiap pagi ketika saya terbangun, ibu sedang mencuci piring, memasak, memotong-motong sayuran, menyiapkan keperluan sehari-hari untuk saya dan adik-adik saya pergi ke sekolah, meyiapkan segala keperluan di toko kami, menyiapkan baju bapak dan semuanya di lakukan seorang diri, tanpa pembantu. Terkadang aku melihatnya sedang mencuci pakaian kami, terkadang sapu, lap, piring di pegang dalam satu keadaan.
Di siang hari, ketika aku pulang sekolah. Aku sudah bisa makan makanan enak hasil tangan ibu, hasil kerja keras ibu. Ketika aku mau tidur, aku mengintip dari ujung mataku. Ibu mencium keningku, menyelimutiku, mengolesi obat anti nyamuk, mematikan lampu kamarku, menyiapkan alarm di handphoneku, melepaskan kacamataku, menutup laptop, dan mengelus kepalaku. Aku ingin terbangun saat itu, tapi entah mengapa aku tak mau, aku takut ketika aku terbangun bahwa itu hanyalah mimpi saja.
Betapa aku belum bisa membalas jasa ibu. Aku belum bisa membayangkan bagaimana jika aku menjadi dirimu, bu. Apakah aku akan sabar menghadapi seorang anak seperti aku? Apakah aku akan tetap bersemangat menyambut pagi menghadapi bocah-bocah seperti kami? Dua atau tiga tahun yang akan datang, aku tak tahu masih bisa melihat dunia, bahkan esok atau lusa apakah aku masih bisa melihatmu tersenyum kepadaku?
Mommy, I’m grown up now.. and I’d like to put smile on your face everyday..
Baru dua hari aku bersama saudara-saudaramu, bu, disini aku bersama orang-orang yang menyayangiku tapi kasih sayangmu tak ada duanya.

Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, 
hanya memberi tak harap kembali, bagai Sang Surya menyinari dunia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar