Alhamdulillah, pagi ini saya
terbangun seperti biasa. Menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida
dengan sempurna walau sedikit tersumbat. Pukul 04.30, nenek saya masih tidur
lelap. Udara pagi itu sangat sempurna, sejuk dan sesekali menggigit pori-pori. Saya
pun menengok sebelah kanan saya, seorang bocah berumur 1,5 tahun masih
terlelap.
Pagi ini, bukan seperti biasanya.
Sudah dua hari saya menginap di rumah nenek (orang tua ibu saya). Di sebuah desa yang kini
sudah tak kental lagi aroma pedesaannya. Walau begitu, tetap saja nampak
berbeda jika dibandingkan dengan keadaan rumah saya di tengah kota yang hiruk
pikuknya sudah terasa setelah shalat shubuh. Tapi disini, setelah shalat shubuh, saya masih bisa melihat ibu-ibu sedang menyapu halaman rumahnya dengan sapu
lidi. Masih bisa melihat anak-anak SD yang hendak pergi ke sekolah menggunakan
sepeda, masih bisa menikmati surabi oncom, masih bisa melihat para petani yang
akan pergi meladang.
Namun, ada yang berbeda di pagi
kemarin dan pagi ini.
Ibu. Iya, ibu tidak ada disini. Walau
umurku mau menginjak ke angka 22, tapi sesosok ibu memang memiliki ruang
tersendiri di hati. Nampak berbeda tidak ada ibu di sini. Ketika di kampung
nenek masih bisa melihat ibu-ibu yang membersihkan halamannya dengan sapu lidi,
di sini saya tidak menemukan sesosok yang kuat sedang mengepulkan asap di
dapur, meyiapkan sarapan, membereskan dapur atau mencuci piring.
Yah, setiap pagi ketika saya
terbangun, ibu sedang mencuci piring, memasak, memotong-motong sayuran,
menyiapkan keperluan sehari-hari untuk saya dan adik-adik saya pergi ke
sekolah, meyiapkan segala keperluan di toko kami, menyiapkan baju bapak dan semuanya
di lakukan seorang diri, tanpa pembantu. Terkadang aku melihatnya sedang
mencuci pakaian kami, terkadang sapu, lap, piring di pegang dalam satu keadaan.
Di siang hari, ketika aku pulang sekolah. Aku sudah bisa makan makanan enak hasil tangan ibu, hasil kerja
keras ibu. Ketika aku mau tidur, aku mengintip dari ujung mataku. Ibu mencium
keningku, menyelimutiku, mengolesi obat anti nyamuk, mematikan lampu kamarku,
menyiapkan alarm di handphoneku, melepaskan kacamataku, menutup laptop, dan
mengelus kepalaku. Aku ingin terbangun saat itu, tapi entah mengapa aku tak
mau, aku takut ketika aku terbangun bahwa itu hanyalah mimpi saja.
Betapa aku belum bisa membalas
jasa ibu. Aku belum bisa membayangkan bagaimana jika aku menjadi dirimu, bu. Apakah
aku akan sabar menghadapi seorang anak seperti aku? Apakah aku akan tetap
bersemangat menyambut pagi menghadapi bocah-bocah seperti kami? Dua atau tiga
tahun yang akan datang, aku tak tahu masih bisa melihat dunia, bahkan esok atau
lusa apakah aku masih bisa melihatmu tersenyum kepadaku?
Mommy, I’m grown up now.. and I’d
like to put smile on your face everyday..
Baru dua hari aku bersama
saudara-saudaramu, bu, disini aku bersama orang-orang yang menyayangiku tapi
kasih sayangmu tak ada duanya.
Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa,
hanya memberi tak
harap kembali, bagai Sang Surya menyinari dunia

Tidak ada komentar:
Posting Komentar