Dia menceritakan pengalaman-pengalaman menariknya kepadaku, tentang ibunya, tentang keponakannya yang masih bocah, tentang sekolahnya, tentang seseorang yang ia sayangi akan tetapi harus ia lepaskan dengan begitu berat. Ia pun menceritakan tentang cita-cita yang sedang ia kejar, sebuah impian di masa yang akan datang, tentang harapan, tentang gejolak meraih mimpi, tentang dunia, tentang surga, tentang keluarga dan tentang cinta.
Suatu saat di malam yang begitu sepi, dia mengirimkan sebuah pesan pendek. Mengantarkanku ke dalam dunianya, aku mengenalnya, lalu memahaminya secara perlahan. Hingga aku tahu jam makan sianya, jam kerjanya, jam belajarnya, dan jam di saat dia menghubungiku.
Perlahan aku masuk dengan irama yang ia buat, alunan melodinya begitu lembut, semilir angin pun tak terasa menusuk pori-pori kulitku. Aku terbawa arus air yang mengalir ke dalam samudera yang luas dan begitu dalam. Aku tersapu secara perlahan, seperti angin yang membawa debu. Seperti air yang membawa dedaunan. Seperti kayu yang terkikis dari masa ke masa.
Perlahan dan terus secara perlahan, hingga aku mengetahui bahwa ini adalah CINTA, SAYANG, KEINGINAN UNTUK MEMILIKI, KASIH, dan sebuah rasa yang belum tertaklukan oleh waktu.
Aku melihat punggung lebarnya
dengan kasat mata, jarak kami hanya 30cm. Aku duduk tepat di belakang
punggungnya, di sebuah sepeda motor yang masih kokoh. Aku melukis sebuat peta
dengan laser mataku. Angin di malam itu tak memusnahkan peta-ku. Tiba-tiba dia
bertanya “Kenapa diam?” aku sentak kaget, peta yang ku gambar di atas
punggungnya hampir hancur. “Nggak, hanya ingat sesuatu” ucapku kepadanya. Perjalanan malam itu terasa
singkat, obrolan kami tak tentu arah. Tentang kuliah, tentang pekerjaan,
tentang cita-cita, tentang kehidupan, tentang perjalanan, tentang hobi, dan
tentang yang tak pernah aku obrolkan dengan senyaman itu.
Cinta, kasih, harapan itu mengalir dalam darahku. Obrolan demi obrolan terus berlanjut. Ketika aku sendiri, dan ingin menangis, aku mengabarinya lewat pesan singkat. Begitu juga dengan kegembiraan, orang yang pertama aku hubungi adalah dia. Tentang segala keputusan yang aku ambil, tentang pekerjaan, tentang segala macam yang membuatku bimbang, aku tanyakan kepadanya untuk diberikan dukungan dan sokongannya.
Aku mulai terhenti untuk terus
mengharapkannya hingga aku mengirimkan sebuah pesan singkat kepadanya :
“jika esok bisa aku
lewati, maka aku bisa melupakan segala sesuatu di hari ini, begitu juga dengan
lusa, jika lusa bisa aku lewati, maka esok akan bisa aku lupakan. Jika ada
sesuatu tentang perasaan ini padamu di hari ini, dan aku bisa melewatinya, aku
akan bisa melupakan tentang perasaan itu kepadamu, karena jika terus aku
simpan, aku takut perasaan ini menjadi busuk seperti apel yang sudah tidak
merah lagi. Aku tidak tahu, bagaimana cara ungkap segala rasa ini, aku seperti
anak SMA yang sedang jatuh cinta. Menangis saat kau tidak menghubungiku,
tersenyum saat kau menyapaku, aku ini memang kekanak-kanakan, tidak seperti
kamu yang dewasa menyikapi segala permasalahan. Aku tak tahu mungkin tak akan
pernah tahu bagaimana perasaanmu kepadaku, mungkin sama sepertiku atau mungkin
kontradiktif dengan perasaanku. Jika hari ini bisa aku lewati, maka aku akan
melupakan hari kemarin, begitu juga dengan esok, jika esok aku bisa
melewatinya, maka aku akan lupa bahwa hari ini pernah terjadi sesuatu diantara
kita, meski Tuhan takkan pernah lupa. Salam hangat untukmu”
Berjalannya waktu, ia memang
masih menaruh sebuah perasaan pada perempuan yang pernah ia ceritakan kepadaku. Begitu pilu,
saat pesanku tak dibalas. Aku ingat perkataanku, bahwa aku akan lupa hari
dimana ada sesuatu terjadi diantara kita. Meski Tuhan tidak akan pernah lupa.
Malam ini, aku tidak akan
mengetahui lagi bagaimana keadaannya, apakah dia sudah makan, apakah dia sudah
istirahat, aku pun tak akan mengetahui jadwalnya yang padat, mungkin karena
terlalu padatnya hingga tak ada waktu untuk mengirimkan sebuah pesan kepadaku. Aku
pun tak akan pernah di ganggu lagi oleh kerlingan matanya.
Malam ini, aku mengingatnya
karena diingatkan oleh sepenggal puisi yang aku tulis untuknya beberapa saat
ketika rasa itu menggebu. Isinya “Untuk kamu, yang indah dalam alunan melodi,
yang selalu bernyanyi dengan nada sumbang namun menjadi merdu dikelilingi sepoy
udara”
Malam ini akan aku lewati dan
esok aku akan melupakan bahwa hari ini aku mengingatnya kembali tanpa
kesengajaan.
Untuk “ei” yang pernah mengisi relung hati, hingga aku selalu
mengharapkan sebuah keindahan masa depan denganmu. Untuk “ei” yang pernah
bahkan selalu menggangguku dengan kerlingan matanya, pada hal itu aku belum
bisa melupakannya.






